Rabu, 03 Desember 2014

Kisah Tragis, Ditinggal Pacar Untuk Selamanya (NYATA) !


Hancur rasanya saat mendapat kabar bahwa orang yang kamu sayangi harus pergi meninggalkan kamu untuk selamanya. Yaa itulah yang saya alami. Kaget, sedih entahlah semua begitu mengagetkan dan membuat shock.

Tak ada yang berbeda dan hal aneh sebelum kepergiannya. Ia terlihat sama seperti biasa. Ia adalah pria yang sangat harmonis, lucu, care dan yang terpenting ia sangat menyayangi saya dan saya pun juga sangat menyayangi dia.

Pacarku meninggal dunia karena terlindas sebuah tronton. Ia mengalami pendarahan yang sangat parah di kepalanya yang mengakibatkan meninggal dunia. Teman saya cerita, bahwa kejadian tersebut bermula saat pacar saya akan menyalip sebuah tronton. namun naas, tronton tersebut malah merem mendadak dan motor pacar saya terpeleset dan masuk ke dalam kolong tronton tersebut. 

Entah apa yang di ada di pikiran pacarku saat itu sampai ia harus menyalip tronton tersebut. akhirnya terjadilah kejadian kecelakaan tersebut dengan kepala dan seluruh tubuhnya terlindas oleh 8 roda tronton bagian belakang dengan sangat keras dan hancur berkeping-keping tanpa berbentuk lagi.

Ia langsung tak sadarkan diri, tepatnya meninggal dunia seketika (mungkin). Temannya berteriak meminta tolong namun kebanyakan orang hanya melihat dan baru beberapa menit kemudian ada orang yang mau menolong kemudian membawanya ke Rumah Sakit terdekat.

Tapi naas, semua sudah terlambat. Nyawa pacar saya sudah tidak bisa ditolong lagi. Ia meninggal seketika bukan dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Tetapi, meninggal di TKP. 

Saat saya diberi tahu oleh temannya. Saya sangat kaget dan sedih bukan kepalang. Saya pun tak dapat merasakan apa-apa selain menangis dan berkali-kali jatuh pingsan.

Saya pun akhirnya bolos sekolah dan langsung menuju ke rumah sakit bersama keluarga pacar saya. Di rumah sakit itu, suasana duka sudah sangat terlihat. Seluruh keluarga menangis, terutama ibunya dan ayahnya yang terlihat sangat terpukul dan berkali-kali pingsan sama seperti yang ku lakukan saat mendengar kabar tersebut.

Kejadian itu sudah terjadi sekitar 7 tahun yang lalu. ketika aku lulus dari bangku sekolah menengah pertama (SMP). Tapi kalau mengingat kejadian itu rasanya sangat sakit dan saya pun pasti menangis. Pacarku pasti sudah bahagia disana walaupun saya selalu merindukannya.

I hope you always calm in peace.. i love you.
"Mario Alva Romeo"
13-06-09

Senin, 24 November 2014

"Mawar Putih Terajut Pilu"

Berkali-kali gadis itu menatap keluar jendela,dirasakannya angin semilir sore tak seindah kemarin.Berkali-kali pula gadis itu menatap kertas tebal dengan penuh ornamen bunga terangkai indah berwarna-warni ditangannya.Bagai kilatan yang menyambar hati,bahkan tamparan ribuan peluru terasa menghujam.Pikirannya menerawang,bagai memutar memori masalalu,dimana semua penyesalan itu berawal..berawal merajut kisah yang tak dapat dianulir hati.
"Kak,udah waktunya".Gadis itu menoleh sejenak,mengikuti suara yang memanggilnya.Dia berharap waktu berhenti sekarang juga.Gadis itu beralih menatap jendela lagi,memejamkan matanya,mencoba memutar ulang kenangan yang menyayat hati,dimana sebuah penyesalan terajut rapi bagai kisah ironi.Dimana keegoisan diri membuat hal yang indah tak kunjung berakhir sempurna.
Mawar Putih Terajut Pilu
Gadis itu memutar kembali memori masalalu,dimana dia kehilangan seorang yang berarti,namun tak pernah dia sadari karna keegoisan diri,kini penyesalan tak dapat di hindari.
_
"Kak rene,ini bunga dari kak johan,tadi dia nitip ke aku pas aku pulang sekolah".Rene menatap penuh mawar berwarna putih lembut dengan daun berhias rapi,lalu mengambilnya,dan menaruhnya kedalam tempat sampah yang berisi penuh mawar putih.Ini yang ke 100 kalinya Rene menerima mawar putih bunga kesukaannya dari seorang pria yang tak pernah dia sukai,Johan.Andin,adik Rene menatap santai perlakuan kakaknya,tak heran karna dia sering melihat pemandangan itu.Hanya saja dia cukup prihatin,diamana Johan adalah lelaki yang baik,yang rela membeli 100 bunga mawar putih yang pada akhirnya berakhir pada tempat sampah.
"Kak,gak bagus loh kayak gini terus".Andin duduk di tepi tempat tidur,menatap sebuah bungkusan kado bewarna-warni yang dapat menarik hati,siapa lagi kalau bukan dari kak Johan untuk kak Rene yang kini bahkan acuh padanya.Lelaki malang.
"Aku emang gak suka sama dia kok ndin".Ucap Rene santai sambil sibuk menyisir rambut lurus sebahunya.Andin menghela nafas panjang,berusaha menahan emosi hati yang kini merayap."Kakak gak boleh gini,bilang dong sama dia,kasian dia kak,tiap hari kakak acuh terus sama dia,padahal dia sering nolong kakak".Andin berusaha mengontrol nada suaranya agar terdengar biasa saja.

Dimata Rene Johan bukanlah orang spesial,namun seorang yang selalu mengganggunya.Rene sering memanfaatkan kebaikan Johan demi egonya.Jahat memang,tapi dia tak punya pilihan lain ketika lelaki itu tak peduli meskipun dirinya mengatakan bahwa dia tak menyukai lelaki itu. "Gapapa,cinta itu datang karna terbiasa kok".Itulah yang selalu diucapkan Johan yang diiringi dengan wajah penuh senyuman,tak tersirat sedikitpun kesakitan dari wajahnya,namun Rene tak peduli,baginya Johan bisa saja menjadi pengusik ulung yang tak gentar mengusik dirinya.
"Sekarang kamu pergi!jangan ganggu aku lagi,kamu gak ngerti ya? kamu tuh pengganggu!".Sembur Rene tanpa ampun pada Johan.Seketika lelaki berkaca mata dengan rambut cepak ala taylor lautner itu pun menundukkan kepalanya,menggeleng dan mengangkat kembali wajahnya dengan dihiasi senyuman tulus.
"Tapi aku bener Ren..aku liat Niko jalan sama Nia..aku gak pernah ngada-ngada tentang itu".
"Alah!! kamu bohong! kamu cuma pengen buat Niko jelek dimata aku kan?..itu karna kamu dari dulu gak pernah bisa dapetin aku kan?,gak gini caranya Han!".Kini mata Rene menyiratkan amarah yang menggelegar.
"Aku gak pernah bohong tentang itu Ren..maaf kalau aku selama ini jadi pengganggu kamu..aku janji gak akan ganggu kamu lagi..aku nyerah Ren,mungkin aku harus nyerah buat dapetin kamu".Suara Johan terdengar parau,tersirat kekecewaan dalam di wajahnya,dari sepanjang perjuangan cintanya kini pada akhirnya lelaki malang itu menyerah dalam kesakitan.
Rene menatap punggung Johan yang kini kian menjauh.Dalam hatinya tersimpan rasa bersalah pada lelaki itu,namun itu tak sebanding dengan amarahnya yang mengutamakan ego.

"Maksudnya apa?!!!".Rene mencoba menahan emosinya,nafasnya memburu tajam,tatapannya pahit menerkam.Niatnya untuk menjenguk dan mengantarkan makanan untuk kekasihnya tercinta kini harus berakhir dengan pemandangan yang tak dapat Ia anulir lagi,kekasihnya sedang berduaan dengan seorang wanita lain."Ren...aku bisa jelasin".PLAKKKK..tamparan itu berbunyi nyaring bagai kilat,tamparan yang bercampur dengan emosi yang tak tertahankan."Cukup Niko! kalian biadab!!".Rene berlari dengan air mata kebencian yang mengalir deras bak air terjun.Dengan rasa sakit yang kini menusuk ulu hati tak tertahankan.Rene benci dirinya,dan membenci dirinya yang tak mempercayai kata-kata Johan dan malah membela habis-habisan lelaki biadab itu,membuat Johan pergi dengan rasa sakit.
_

Rene masih menatap kertas tebal dengan penuh ornamen bunga itu dengan rasa sakit yang kini barakhir pilu.Dengan huruf yang terangkai pasti,membuatnya tak rela melihat surat undangan itu,dimana lelaki yang kini mulai membuatnya jatuh kedalam rengkuhan cinta akibat penyesalan malah pergi dengan haluan lain,dengan ikatan sebuah pernikahan yang akan berlangsung 30 menit lagi.
"Ayo kak,upacara pernikahannya sebentar lagi,kita harus buru-buru".
"Ayo Ndin,kakak udah siap".Rene berbalik meninggalkan kamar dengan balutan gaun putih gading berenda yang amat cantik yang terhias rapi ditubuhnya yang ramping dan semampai.Rene telah siap menerima kenyataan pahit yang berakhir pilu ini,kenyataan yang membuatnya sadar bahwa inilah yang terbaik,dimana merelakan cinta pergi mungkin lebih baik daripada mempertahankannya dengan rasa sakit,Rene sadar bahwa itulah yang dirasakan Johan selama ini,dan kini dia harus merasakannya juga.

''Ayo kak Buruan".Andin menyambutnya di bawah tangga,bersiap pergi dengan mobil x trail merah terang,mobil yang akan melaju melawan waktu untuk pergi menghampiri sebuah pesta pernikahan yang sangat berarti bagi Johan dan calon mempelainya.

TAMAT

Gimana? keren ken ceritanya..
semoga anda semua yang membacanya bisa terhibur dengan cerita tadi, oke tunggu ceritaku berikutnya.... thanks.

Rabu, 19 November 2014

Deskripsi Teman by Dosta Taruli Gabe

MENDESKRIPSIKAN TEMAN 


Namanya Silva Noviyanti, saya memanggilnya deva.
Kepanjangan dari : Dede Silva (panggilan sehari-harinya di rumah maupun di kampus).
Deva merupakan perempuan bertubuh agak subur dengan tinggi badannya mungkin standar perempuan Indonesia. Saya bisa memastikan karena ia pernah berjalan kaki bersama saya. Kulitnya sawo matang, alisnya tipis, matanya agak sipit tanpa berkacamata, hidungnya pesek, telinganya caplang, dan memiliki bentuk bibir yang tipis sensual serta memiliki gigi yang berbehel mengikuti trend masa kini.
Di wajahnya bagian kiri, kanan serta di samping mata sebelah kanannya ada beberapa jerawat batu yang mengganggu kecantikannya. Sehingga, ia selalu memakai kerudung kemanapun ia pergi.
Wajahnya yang berbentuk oval itu akan membuat matanya hilang ketika ia tertawa. Dia berasal dari Labuan-Banten. Saya bisa bertemu dengannya di karenakan berada di satu kampus yang sama. Awalnya, saya mengenalnya karena diperkenalkan oleh teman saya, Maya namanya. Pada saat kami mencari info di fakultas yang sama. Mulai semenjak itu, kami jadi sering pergi bersama-sama.   
Deva merupakan anak ke delapan (8) dari delapan (8) bersaudara. Ia lahir di Labuan – Banten pada tanggal 31 Oktober 1994. Ia pernah menjuarai lomba cerdas cermat dengan peringkat satu (1) pada saat ia duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).
Jika sedang berada di dalam kelas, ia sangat fokus memperhatikan dosen saat dosen mengajar di kelas. Sehingga, pada saat ujian tengah semester (UTS) ini, ia tidak pernah menyontek.

Begitu juga di dalam pergaulan, ia termasuk anak yang alim dan tidak nakal. Sangat nurut sama orang tua dan selalu membantu temannya jika sedang dalam kesulitan. Sifatnya yang sering berbagi, membuat saya senang berteman dengannya. Tidak hanya saya, bahkan teman-teman yang lain juga merasa nyaman jika sedang berada di dekatnya. Sehingga membuat ia memiliki banyak teman dikalangan manapun.    

Backgrounder by Dosta Taruli Gabe

Backgrounder

Profile Restaurant
Tahun 2008 Restoran Ayam Joedag ini didirikan pada tanggal 13 November.Awal mulanya dicetuskan nama restoran ini yaitu"Ayam Ba".


Visi Restoran
Pemilik ingin membantu masyarakat atau pelanggan mendapatkan Ayam Bakar dengan harga yang terjangkau.

Misi Restoran 
Mengembangkan menu baru(yang tidak hanya Ayam Bakar tetapi makanan dan minuman lainnya)dengan harga yang terjangkau dan dengan bahan-bahan yang berkualitas tinggi. 

Pemilik Restoran Ayam Bakar Joedag


Rudy Sakoel
Lahir di Medan Tahun 1966.Beliau seorang Bapak dan seorang suami dengan 3 orang anak 1 istri.Awalnya Beliau seorang majelis di gereja yang sangat aktif dan dulunya Beliau tidak mempunyai pikiran akan membuka restoran yang besar.


Sarana Penunjang
Restoran Ayam Bakar Joedag ini memiliki fasilitas penunjang yang memadai untuk mendukung kenyamanan para pelanggan atau penunjang restoran yaitu:

Areal parkir
Restoran Ayam Bakar Joedag ini memiliki Areal parkir yang luas baik untuk parkir pengunjung yang bisa menampung lebih dar 150 mobil.

###



CV. Restoran Ayam Joadag atau "Ayam Ba" 
Jl. Asia Afrika No 15 Jakarta Pusat
Telp: 41090659
E-mail: Rudy_sakoel@yahoo.com



###

Transkip Wawancara Saya dengan Bapak Rudy Sakoel

Saya                : Selamat siang pak ? bisa bertemu dengan Pak Rudy Sakoel ?
Pak Rudy        : Iya selamat siang,saya Pak Rudy Sakoel,ada yang bisa bapak bantu ?
Saya                : Begini pak, bolehkah saya mewawancarai Pak Rudy tentang usaha
bapak dalam rangka tugas kuliah penulisan humas ?
Pak Rudy        : Dengan senang hati.
Saya                : Apakah Pak Rudy sudah lama berjualan?
Pak Rudy        : Ya, sudah lama.
Saya                : Kira-kira sudah berapa lama bapak berjualan?
Pak Rudy        : Sekitar 7 tahun.
Saya                : Apakah dari awal bapak berjualan, sudah membuka restoran ini
sudah langsung besar seperti ini ?
Pak Rudy        : Tidak, awalnya berjualan menggunakan gerobak
Saya                : Mengapa bapak beralih dari gerobak menjadi membuka sebuah
restoran yang cukup besar seperti saat ini ?
Pak Rudy        : Karena jika jualan keliling keuntungannya tidak besar dan jualnya
cuma bisa 1 macam. Lagipula cukup cape untuk berkeliling jualan.
Kadang dikejar-kejar kantip. Jadi tidak enak sama pembeli. Jika
diburu-buru makannya.
Saya                : Apa saja yang bapak jual dulu ?
Pak Rudy        : Bakso, mie ayam, soto, dan lain-lain. Tetapi sekarang sudah lebih
dikhususkan untuk menu ayam bakar saja. Supaya lebih simple.
Berikut dengan variasi minuman yang biasanya cukup lumrah tersedia
di restoran.
Saya                : Berapa modal yang harus dikeluarkan dalam sehari ?
Pak Rudy        : Kalau dulu mungkin sekitar 500 ribu, sekarang sudah lumayan besar
modal yang dikeluarkan di setiap harinya.
Saya                : Bagaimanakah suka dan duka selama berjualan?
Pak Rudy        : Sukanya ya puji Tuhan rame, pelanggannya banyak. dukanya jika
hari itu pas saya masih berjualan menggunakan gerobak pembelinya rame ya tempatnya terbatas, dan repot. Tapi sekarang sudah ada tempat yang netap dan strategis serta sudah punya beberapa karyawan yang bisa membantu jadi saya sekeluarga sudah tidak perlu turun tangan lagi dalam mengelola restoran ini jika sedang ramai.
Saya                : Siapa yang membantu bapak dalam berjualan pada saat
menggunakan gerobak?
Pak Rudy        : Saya dan istri saya. Kami mendorong gerobak bersama-sama.
Saya                : Saat Pak Rudy masih berjualan menggunakan gerobak, dimana saja
rute berjualannya?
Pak Rudy        : Di sekitar rumah saya dan daerah-daerah rumah di sebrang rumah saya.
Saya                : Bagaimana Pak Rudy menghadapi jika pelanggan sedang rame-ramenya?
Pak Rudy        : Ya mesti sabar, juga repot pastinya. Tapi sekarang kan sudah ada
tempat yang netap dan strategis serta sudah punya beberapa karyawan yang bisa membantu jadi saya sekeluarga sudah tidak perlu turun tangan lagi dalam mengelola restoran ini jika sedang ramai.
Saya                : Bagaimana bila pelanggannya ingin cepet-cepet dilayani?
Pak Rudy        : Ya harus nunggu dan sabar.
Saya                : Berapa harga yang bapak tetapkan dalam 1 porsi?
Pak Rudy        : 7 ribu waktu dulu ya. Tapi sekarang kan sudah banyak variasi menu
dalam ayam bakar dan variasi menu dalam minuman. Walaupun demikian, saya tetap menjunjung tinggi harga yang terjangkau supaya konsumen saya tidak kecewa dan tidak kabur.
Saya                : Oh begitu, baiklah. Terimakasih atas waktunya pak. Maaf jadi
merepotkan dan mengganggu waktu bapak.
Pak Rudy        : Oh tidak sama sekali diganggu dan di repotkan. Kembali kasih, nak.
Sukses studinya ya. Tuhan Memberkati.


ADVETORIAL by Dosta Taruli Gabe

"Menjadikan Lorena Sebagai Teman Perjalanan Anda"




            Lorena adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Lorena selalu mengutamakan kepuasan pelanggan. Lorena memiliki kualitas tinggi dan dengan harga yang kompetitif serta mengupayakan peningkatan pelayanan kepada pelanggan dalam menemani perjalan anda.
            Dengan Motto “Sabar, Sopan, Senyum”. Bus Lorena siap melayani perjalanan anda. Bus Lorena menyediakan fasilitas berupa full ac, toilet, reclining seat, TV/DVD, GPS, Bantal, Selimut, dan Smoking Area.
            Bus Lorena – Karina merupakan gabungan dari PT. Eka Sari Lorena Transport dan PT. Ryanta Mitra Karina. PT. Sari Lorena tidak hanya melayani kendaraan besar (seperti bus) tetapi juga melayani jasa sewa kendaraan kecil (seperti toyota avanza, innova, BMW, Mercedes). Pelanggan juga dapat menyewa kendaraan kecil tersebut dengan berbagai pilihan sistem rental ataupun short term rental dengan fasilitas menggunakan tenaga pengemudi ataupun self drive.
            Bus Lorena – Karina memiliki depo yang terletak di jalan raya tajur no. 106 Bogor dan di jalan r.a kartini no. 16 Cilandak, Jakarta. Lorena transport didirikan pada tahun 1970.

            Dengan penghargaan yang sudah didapatkan oleh bus lorena – karina, bus lorena – karina siap menemani perjalanan Anda!. 

FEATURE by Dosta Taruli Gabe

"BEKERJA UNTUK MEMBANTU BUKAN UNTUK MELANGGAR"


Di tengah-tengah gemericik hujan yang turun di kawansan Wisata Puncak Bogor,  seorang pria paruh baya dengan berseragam celana coklat, topi abu-abu, kemeja putih dengan dibalut rompi petugas polisi justru sibuk dengan tugasnya mengatur parkiran di pinggir Jalan Raya Puncak KM 77 Cisarua Bogor. Nampak wajah yang begitu bersahaja menyapa para pengendara kendaraan bermotor baik itu mobil maupun motor yang hendak parkir di lahan parkirnya.

Pria kelahiran 40 tahun silam itu bernama lengkap Jamaludin, merupakan ayah dari tiga orang anak hasil penikahan dengan istrinya bernama Handayani. Menurutnya, ia telah bertugas sebagai tukang parkir di Jalan Raya Puncak sejak 15 tahun yang lalu. “Saya bekerja sebagai tukang parkir di sini sekitar 15 tahun yang lalu, setelah memiliki satu anak. Tugas saya di sini sih bukan hanya memarkirkan kendaraan, kadang saya juga membantu warga untuk menyebrang jalan”ucapnya sambil tersenyum.
Di kawasan wisata Puncak sendiri area parkir di pinggir jalan raya sangat mudah ditemui, dari mulai keluar Tol Jagorawi hingga ke daerah Cipanas. Hal tersebut sangat berarti bagi warga sekitar, karena memunculkan ‘lahan kerja’ bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap seperti halnya Pak Jamaludin.  Keramaian lalu-lintas kawasan wisata Puncak memang tak terbantahkan lagi, dengan panorama alam yang menakjubkan, menjadikan Puncak sebagai tempat tujuan wisata yang dapat menghilangkan penat rutinitas kegiatan sehari-hari. Menurut Pak Jamal, per harinya beliau dapat penghasilan sekitar 20 hingga 40 ribu rupiah, cukup tidaknya penghasilan tersebut ia terima dengan lapang dada. “Setiap hari paling saya dapat 20rebu kalau lagi sepi, kalau lagi rame saya bisa mendapatkan uang sekitar 50 rebu.Penghasilan berapa pun saya    mah terima-terima aja, yang penting masih bisa makan” ujarnya dengan logat bahasa sunda yang kental.
Profesi Pak Jamal sebagai tukang parkir jalanan justru kontradiktif dengan kebijakan pemerintah tentang ketersedian ruang parkir dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 Pasal 34 ayat 3. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa fasilitas parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu yaitu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas dan atau Marka Jalan.
Tentang peraturan tersebut Pak Jamal tidak mengetahuinya sama sekali, ia selama ini nyaman-nyaman saja sebagai tukang parkir di Jalur Puncak. Tidak pernah ada petugas keamanan atau polisi yang menegurnya. “Selama saya bertugas, saya tidak tahu dan tidak ada yang memberi tahu sama sekali tentang peraturan-peraturan lalu lintas, malahan saya dikasih rompi sama petugas polisi karena dianggap pekerjaan saya telah membantu tugas beliau. Ini rompinya yang saya pakai” ujarnya sambil menunjukkan rompi yang sedang ia pakai. Dengan rompi yang ia pakai, pak Jamaludin mengaku semakin bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Baginya itu sebuah tanda bahwa pekerjaan yang digelutinya selama ini telah berjasa bagi orang lain dan telah diakui oleh instansi kepolisian.
Di era sekarang dengan daya persaingan yang tinggi, Pak jamal tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Pendidikan terakhirnya yang tidak sampai tamat sekolah dasar membuatnya sulit mencari pekerjaan. Walau dengan penghasilan yang sangat pas-pasan ia tetap bertahan dalam pekerjaannya. Tak terbayangkan olehnya jika harus kehilangan pekerjaan yang telah bertahun-tahun ia geluti. Karena pekerjaannya ini, Pak Jamal begitu dikenal oleh warga sekitar bahkan ia dikenal oleh para petugas Polantas.
Meskipun di sisi lain, keberadaan lahan parkir di sepanjang Jalan Raya Puncak sedikit-banyak berkontribusi terhadap kemacetan lalu lintas yang sering terjadi di Kawasan Wisata Puncak, namun menurut Pak Jamal, infrastruktur jalan yang sudah tidak sebanding dengan kendaraan masuk dan melintaslah yang menjadi masalah utama kemacetan di kawasan Puncak selama ini. “Sebenarnya di sini bukan kita yang bikin macet. Jalannya seukuran begini, kendaraan yang lewatnya banyak banget mas, wajar aja macet. Polisinya yang ngatur juga kewalahan. Kita malah sering bantu mereka ngatur jalanan”.
Penduduk sekitar pun sangat menghargai tugas Pak Jamal, karena membantu mereka dalam menyeberang jalan serta mengatur lalu lintas seperti halnya yang diutarakan oleh Pak Andi, tukang ojek di dekat lahan parkir Pak Jamal. “Ya, beliau sangat berjasa buat kita. Dia sering membantu orang-orang sini menyeberang jalan. Tahu sendiri Jalanan Puncak padet banget, dan turunannya curam. Jadi kita kadang takut untuk menyeberang apalagi kalau hari libur”.  Hal tersebut memang benar adanya, sekitar 40 ribu kendaraan tercatat melintas Gerbang Tol Ciawi seperti dikutip di akun twitter @TMCPolresBogor. Antrean kendaraannya hingga 10 KM.
Pak Jamal, seringkali membantu Polantas yang bertugas di dekat lahan parkirnya dalam mengatur lalu lintas jika ada kemacetan. Tidak ada harapan untuk mendapat imbalan apapun dari petugas polantas tersebut. Baginya itu juga merupakan tugasnya sebagai orang yang mendapat uang di jalanan.
Selain peduli akan kondisi jalanan, Pak Jamal juga begitu peduli terhadap keluarganya. Setiap ia pulang dari tugasnya, Pak Jamal langsung memberikan penghasilannya kepada istrinya.  Selanjutnya ia menghampiri anaknya yang semuanya masih duduk di bangku sekolah. Pak Jamal membagi-bagi pula penghasilannya kepada seluruh anaknya secara merata.
Jasa seorang tukang parkir sepertinya mungkin memang tidak akan pernah dianggap besar oleh orang lain. Namun baginya, semua yang dilakukan atas dasar ikhlas akan memiliki manfaat bagi orang lain. Tak mengenal hujan, atau bahkan di saat sakit pun ia akan berusaha bekerja semaksimal mungkin selama ia bisa melakukannya.
Istrinya yang setiap hari begitu mengandalkan penghasilan suaminya tersebut selalu memberikan dukungan yang maksimal baginya. “Istri dan anak saya adalah segalanya bagi saya. Mereka lah yang selama ini mendukukung saya dan menjadi tonggak semangat saya. Di jalanan orang tidak peduli akan kondisi saya. Saya bekerja untuk orang lain dan untuk membantu bukan untuk melanggar”.
Harapan Pak Jamal, jika memang ada kebijakan dari pemerintah yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai tukang parkir hendaknya disosialisasikan kepada beliau. Dan ia pun mengharapkan adanya pelatihan atau pengarahan tentang aturan-aturan lalu lintas yang ada.
“Peraturan lalu-lintas tentu harus kami taati, namun kami harus tahu dan mengerti tentang peraturan tersebut” ujarnya.
*Juara 2 Kategori Baik dalam Workshop Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Koordinator Perguruan Tinggi Swata Wilayah 3 (KOPERTIS 3)

PRESS RELEASE by : Dosta Taruli Gabe

“Setetes darahmu sangat berarti bagi orang lain”
Hotel Le Dian Serang



            Serang, 8 Maret 2013 – Hotel Le Dian yang terletak di lokasi utama dengan jantung Kota Serang, ibukota Provinsi Banten, Indonesia. Hotel Le Dian merupakan satu-satunya hotel bintang 4 dengan fasilitas hotel bintang 5. Hotel Le Dian mengadakan acara Corporate Social Responsibility (CSR) kepada PMI dan secara serentak menggelar aksi donor darah. Acara ini dihadiri oleh semua karyawan Hotel Le Dian dan masyarakat luar dapat ikut berpartisipasi. Acara ini berlangsung selama 3 hari, 8 Maret – 10 Maret 2013.
            Donor darah ini merupakan salah satu kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh Hotel Le Dian. Hal ini merupakan bentuk dukungan Hotel Le Dian kepada PMI. Program dari CSR yang dibuat Hotel Le Dian dapat membuat komitmen untuk kesehatan dan lingkungan. Kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan.
            Hotel Le Dian mempunyai terget 1000 kantung darah yang melibatkan seluruh karyawan dan masyarakat luar. Program ini mempunyai tema besar “Setetes darahmu sangat berarti bagi orang lain”. Hotel Le Dian juga memberikan Goodie Bag yang berisi mengenai Hotel Le Dian. Secara tidak langsung, Goodie Bag tersebut memperkenalkan Hotel Le Dian kepada masyarakat.
             Dengan adanya program CSR yang dilakukan oleh Hotel Le Dian dapat membantu PMI dalam mengumpulkan kantung darah bagi yang membutuhkan. Semoga acara ini dapat menjadi program rutin CSR Hotel Le Dian untuk kedepannya.

Info Selengkapnya:
Sekretariat: Vivin (0254 229888)

Jl. Jendral Sudirman No. 88, Serang Banten 42118. Indonesia.
Gabriel: Mencintaimu Cukup Bagiku
Cerpen Romantis Sedih
oleh Dosta Taruli Gabe
Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.

Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.

“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.

Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.

Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!

Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.
***


“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.

“iya..” jawabnya.

Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia. Ia tertinggal satu langkah dariku.

“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.

Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.

“ ayo vi!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.


“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.

“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“sakit yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.

“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.

“iel?.” Ucapnya.

“Alvin?.” Ucapku.

“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.

“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.

Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan vi?.” Tanya ku

Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.

“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.

“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.

“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.

“makasih ya.” Tambah sivia.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang kemarin.

Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...

“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.

Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Sivia?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.

“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.

Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***

“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening sivia mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Sivia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”

“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’

Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu

END..